Jakarta, POL | Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menghadiri acara sidang senat terbuka yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian-Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK). Sidang senat dilakukan dalam rangka mengukuhkan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Hamonangan Laoly sebagai Guru Besar Ilmu Kriminologi.
“Dalam sidang senat terbuka STIK-PTIK, mengukuhkan Profesor Yasonna Hamonangan Laoly, SH., M.Sc., Ph.D sebagai Guru Besar Ilmu Kriminologi. Semoga bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara. Serta perkembangan ilmu pengetahuan, dan tentunya bagi STIK-PTIK, bagi ilmu kepolisian pada khususnya,” kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian selaku pemimpin sidang senat di auditorium STIK-PTIK, Jalan Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (11/9/2019).
Pantauan detikcom, Megawati datang didampingi putrinya, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani. Acara ini juga turut dihadiri Penasihat Tim Transisi Jokowi, Hendropriyono dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Dalam acara itu, Wapres Jusuf Kalla memberikan sambutan tentang perubahan gaya hidup akibat perkembangan siber.Dia menyinggung pengaruh siber di dunia politik juga signifikan.
“Dahulu, awal pemilu pasti yang pertama kita angkat ketua pengerahan massa, supaya (massa) hadir dalam kampanye. Sekarang itu tidak penting lagi, tapi yang penting pasukan siber yang dapat membully atau balas bully,” kata Jusuf Kalla.
Perkembangan siber, imbuh Jusuf Kalla, juga berdampak pada dunia kriminalitas. “Karena itulah kepolisian harus lebih menguasai siber ini daripada para kriminal,” ucap dia.
Sambutan Jusuf Kalla, terkait dengan judul orasi ilmiah Yasonna, yaitu ‘Dampak Cyber Bullying dalam Kampanye Pemilu Terhadap Masa Depan Demokrasi di Era 5.0’. Selanjutnya, Yassona menerangkan fenomena cyber bullying yang mula-mula hanya dianggap mengganggu kesehatan jiwa berubah menjadi cyber victimization.
“Yang perlu perhatian kriminolog, peneliti, dan ilmuwan sosial. Sebab, menggejalakan cyber bullying dan cyber victimization ini menghadirkan malapetaka sosial yakni terciptanya polarisasi yang keras di tengah masyarakat,” tutur Yasonna.
Yasonna menilai malapetaka itu terjadi lantaran masyarakat mengabaikan sisi positif dari internet, khususnya media sosial untuk mengampanyekan segi-segi terbaik dari praktik berdemokrasi di era digital democracy.
“Malahan justru menggunakannya untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri. Masih terbatasnya teori-teori kriminologi dan hasil-hasil penelitian empirik tentang cyber bullying dan cyber victimization dalam hubungan dengan demokrasi menjadi tantangan bagi para kriminolog,” sebut Yasonna. (POL/DC)